Karakter Utama

lisha
2 min readMar 6, 2023

Sejak kecil, aku menikmati peranku menjadi penonton dari hidup orang lain, baik fiksi maupun realita yang bak layar tancap dadakan. Aku akan berkunjung ke rumah teman dari pagi sampai sore hanya untuk menontonnya bermain GTA, aku akan pergi ke warung makan hanya untuk melihat sang juru masak yang handal menggodok bakmi, aku akan duduk dengan teman-teman dan tersenyum saat mereka dengan geli menertawakan sesuatu yang tidak familiar, dan aku akan terobsesi dengan karakter utama suatu novel sampai-sampai aku tidur sembari memeluk bundelan kertas tersebut.

Dan aku menikmati setiap detiknya, karena barangkali berpaling dari hidup milik sendiri memang terasa lebih nyaman.

Tetapi bertahun-tahun kemudian banyak orang mulai merekam diri mereka sendiri; berdansa di trotoar, menghampiri orang asing di tempat publik, berbicara dengan kamera di mobil, dan mereka semua mengajak sisa dari populasi manusia untuk melakukan hal yang sama. Untuk menjadi tontonan. Untuk menjadi karakter utama. Menyenangkan, katanya.

Aku pikir itu bukan hal yang buruk. Lagi-lagi aku dengan senang hati menontoni hidup mereka ketika hidupku sedang dihampiri hari yang buruk.

Sampai akhirnya aku sudah cukup besar untuk melakukan hal-hal yang biasa aku tonton. Aku bisa memasak, menyetir mobil, mengendarai motor ke tempat yang jauh, berjalan-jalan sendiri tanpa rasa takut, memakai baju yang kusuka, dan memakan makanan yang tak biasa dibeli oleh ayah dan ibu.

Dan ternyata memang menyenangkan. Aku menjadi tontonan diriku sendiri. 23 Oktober 2021, 25 Februari 2022, 1 Agustus 2022. Aku hafal betul klip-klip itu. Aku bahkan menjadi tontonan orang-orang ketika aku menggandeng tangan seseorang lain di eskalator mal. Bagai rutin mengonsumsi suplemen, hari-hari buruk jadi terasa tak begitu menyakiti lagi.

Tetapi beberapa waktu lalu, aku menonton video yang menjelaskan bahwa rajin mengonsumsi suplemen kesehatan bukan selalu hal yang baik. Terkadang tubuh kita membutuhkan hal lain yang jika salah konsumsi malah akan membuat kondisi tubuh perlahan memburuk. Dan bagaikan dokter yang dikejar antrian pasien, pemain-pemain karakter utama di luar sana tak banyak yang mengingatkan hal itu.

Barangkali karena karakter utama di film dan buku yang mereka tonton dan baca tidak pernah menangis di pinggir rel kereta karena setengah mati ingin menyerah, alih-alih selalu tersenyum bahkan ketika mereka memutuskan untuk mengorbankan hal yang paling berarti dalam hidup? Entahlah.

Lalu ada hari dimana aku mulai kesal dengan ekspektasi yang mengharuskanku untuk menikmati bunga-bunga yang sedang mekar ketika badanku sendiri sedang terlalu layu untuk digoyang oleh sepoi angin sore.

Karena layar tancap yang akhir-akhir ini aku tonton menunjukkan karakter utama yang tidak lagi terkesima oleh indahnya laut, yang menatap kosong gemerlap jalanan malam, yang sesenggukan saat terbangun tanpa alasan di dini hari dan yang takut untuk melihat pantulan dirinya sendiri di cermin.

Setiap detik ia bertanya apakah seharusnya film ini berakhir, karena ini tak lagi terasa seperti jalan cerita yang seharusnya, tetapi ia tak lain dari karakter utama yang mempertontonkan diri di layar tancap yang hanya ditonton oleh satu orang. Dan jika aku bisa mematikan dan menggulung layar tancap itu, aku akan dengan senang hati membantunya. Tetapi aku tak kunjung tahu caranya, dan aku masih terlalu iba untuk meninggalkan si karakter utama tanpa penonton.

--

--